Plus Minus PSBB. Peraturan Menteri Kesehatan No O9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, merupakan payung hukum yang sesungguhnya baik bagi pelaksanaan pembatasan sosial.

Oleh karena himbauan untuk menjaga hubungan sosial, interaksi kemasyarakatan yang selama ini ada, untuk diminimalisir agar penularan virus ini dapat cegah. Namun, himbauan ini, kurang direspon oleh masyarakat.

Kemudian keluar lagi edaran untuk melakukan “perenggangan” fisik antar individu atau menjaga jarak dalam menjalin komunikasi. Ini pun tidak disambut baik oleh masyarakat. Itu sangat nampak tidak adanya perubahan perilaku keseharian masyarakat.

Saya mengamati sikap masyarakat terhadap himbauan ini, antara lain, pertama, masyarakat pada umumnya tidak peduli terhadap pemberitaan “bombastis” penyebaran virus ini.

Bagi sebagian besar masyarakat berasumsi bahwa penyakit itu, banyak tergantung dari diri, sepanjang kita kuat, kenapa mesti takut, kedua, ada juga pandangan yang banyak diyakini masyarakat, bahwa virus ini tidak akan menjangkiti mereka, karena punya keyakinan agama yang dianutnya.

Bahwa tidaklah seseorang mendapatkan bala jika tidak dengan izin Tuhan, ketiga, kepentingan dan kebutuhan yang harus dipenuhi, terutama bagi pekerja non formal. Mereka berkata, kita akan makan apa kalau tidak keluar dari rumah.

Sementara yang dijanjikan untuk mendapatkan kebutuhan pokok dari pemerintah ” tidak jelas” peruntukannya, kecuali kepada siapa yang dekat dengan Pak Rt atau Pak Rw maupun Pak Lurah atau Pak Kades.

Ini tidaklah salah, sebab kenyataan seperti ini sering dijumpai bila ada bantuan “gratis”, akhirnya mereka apatis dan menganggap itu hanya PHP Penuh Harapan Palsu atau Pelipur Hati dari Pejabat, keempat, ada juga yang “cuek ‘, tidak mau tahu. Yang jelas dalam pikiran mereka ada apa dengan virus ini, bukankah inj jadi urusan pemerintah?

Cerminan sikap di atas adalah tidak kuatnya kepemimpinan, baik oleh organisasi kemasyarakatan mampu dalam pemerintahan, pada saat yang sama pemenuhan kebutuhan mereka tidak terlaksana dengan baik. Sebab salah satu konsekuensi himbauan untuk di “rumah saja” adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah.

Mungkin bagi mereka yang berpunya, dengan memanfaatkan fasilitas belanja dan antar secara online, itu bukanlah permasalahan pelik. Selain itu budaya disiplin diri bagi masyarakat kita pada umumnya masih rendah.

Masyarakat Indonesia tidak punya rekam jejak disiplin yang kuat, yang sudah di tanamkan sejak dini. Sehingga, sangat dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan tegas dalam pengambilan keputusan maupun penerapannya.

Kendala yang dihadapi dalam penerapan pembatasan sosial berskala besar antara lain :

1. kesiapan pemenuhan kebutuhan pokok atau logistik masyarakat.
2. pendataan masyarakat penerima bantuan terkadang masih ada “bolongnya” yang kemudian ini “didramatisir” seolah bahwa banyak warga yang belum atau tidak menerima bantuan,
3, izin keluar rumah yang masih banyak tergantung “budi baik” petugas dilapangan. Yang seharusnya dilarang, malah dibolehkan, sehingga ada pihak yang merasa atau mempertanyakan kenapa dia bisa, saya tidak, misalnya.
4. pengawasan dan pemantauan aktifitas dilapangan yang kurang efektif,
5. penindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga atas pemberlakuan kebijakan ini, yang meskipun masuk dalam kategori tindak pidana ringan, tapi seyogyanya di terapkan secara tegas dan adil,
6. adanya tindakan “praktis yang mengharuskan mereka balik kerumah, bila secara diam diam keluar rumah,
7. semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembatasan itu sinergi dan koordinatif
Hal hal yang disebutkan ini menjadi faktor efektifitas keberhasilan penerapan pemberlakukan karantina wilayah itu.

Kesiapan Tim

Baik dari unsur pemerintah, Forkopimda, relawan maupun LSM yang turut serta membantu pelaksanaan kebijakan ini seyogyanya terlebih dahulu mempersiapkan mekanisme dan standar operasional, kebutuhan logistik masyarakat sudah tersedia , tim penindakan dan upaya praktis dalam pelaksanaan di lapangan.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sedapat mungkin ada tindakan praktis yang bisa memaksa warga yang beraktifitas di luar rumah tanpa kepentingan yang jelas atau melakukan pekerjaan yang telah di cover sebagai penerima bantuan kebuhan pokok atau jaring pengaman sosial berupa bantuan langsung tunai kepada masyarakat berpenghasilan rendah atau “di rumahkan” pihak perusahaan ataupun pemutusan hubungan kerja yang berdampak pada turunnya kemampuan ekonomi keluarga.

Selain itu, sukarelawan maupun petugas yang telah di tunjuk untuk secara simultan melaksanakan tugasnya dengan tidak melakukan penilaian diskriminatif terhadap pelanggaran yang terjadi dilapangan.

Bahwa telah ditentukan apa saja yang dilarang berkegiatan selama pemberlakukan pembatasan sosial ini, haruslah diawasi seketat mungkin, dan bagi yang dikecualikan untuk tetap melakukan aktifitas pada batas tertentu, tetap menjaga norma norma untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kontak fisik dalam melakukan kegiatannya.

Memutus mata rantai penyebaran virus, termasuk potensi yang kemungkinan terjadi di luar mekanisme pembatasan sosial ini, adalah limbah alat pelindung diri, sejatinya harus pula diperhatikan.

Dari berbagai riset menyatakan bahwa limbah alat pelindung yang tidak dimusnahkan secara baik, juga bisa menjadi penyebab penularan virus. Ini yang selama ini tidak di “singgung” dalam pelaksanaan pembatasan yang dimaksudkan untuk “mematikan” jaringan penyebaran virus.

Tentu saja juga yang sangat penting adalah orang tanpa gejala atau orang yang tidak terdeteksi karena tidak melakukan rapid test atau swab, juga merupakan permasalahan yang perlu dicermati, sehingga semua sisi yang bisa atau berpeluang menyebarkan atau menularkan virus ini diperhatikan pula

Plus Minus-nya

Kita lihat dari sisi positif pemberlakukan pembatasan sosial , merupakan satu satunya cara yang sudah dipraktekkan oleh banyak negara dapat mengurangi atau mengendalikan penyebaran virus ini.

Sebagaimana diketahui bahwa covid19 ini menular dari dinamika aktifitas masyarakat, terjadinya interaksi sosial yang padat serta kontak fisik yang sering, membuat virus ini mudah berpindah Terutama melalui tangan. Di mana tangan ini adalah organ tubuh yang paling aktif selain mata, sehingga oleh para pakar virus mengatakan dengan tangan yang sudah terkontaminasi dengan virus ini, akan berpindah kepada orang lain atas apa yang pernah di “jamah” nya. Dengan pembatasan sosial yang dilakukan secara ketat dan disiplin, diharapkan secara efektif mengurangi potensi penyebarannya.

Namun, pemberlakukan pembatasan sosial harus lah disertai dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat pada wilayah yang dibatasi itu. Dan itu tidaklah mudah bila tidak memiliki data yang valid. Dan soal data ini merupakan masalah pelik di negeri “berseliweran” data dalam banyak versi. Juga sikap dari pelaksana di lapangan yang masih “pilih kerabat”, ini menjadi sisi minus yang kerap terjadi.

Semoga saja pembatasan sosial berskala besar yang akan dilaksanakan diberbagai daerah memperhatikan berbagai hal sehingga tidak ada unsur minus dalam pelaksanaannya.

Wallahu ‘alam bisshawab
Makassar, 2/4/2020

Penulis: M. Ridha Rasyid
Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan