BONEPOS.COM, SINJAI – Pembangunan bumi perkemahan di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Abdul Latif di Desa Batu Belerang, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, berpolemik.
Pasalnya, pembangunan bumi perkemahan yang dibangun Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai sementara berjalan yang diketahui anggarannya tidak sedikit ini dianggap bermasalah, salah satunya oleh Forum Pencinta Alam (FPA) Sinjai.
Koordinator FPA Sinjai, Fandi Kaluhara menyesalkan.
Menurut Fandi, tindakan pembukaan lahan pada akses di Tahura Ma’ra seluas 1 hektare untuk pembangunan bumi perkemahan menunjukkan konsep tidak ramah lingkungan.
“Kita mendesak kepada pihak Pemkab Sinjai untuk menghentikan pengerjaannya dan membangun dialog yang transparan dengan segala pihak. Kita juga mendesak pihak KLHK untuk meninjau ulang izin penggunaan alat berat di sana serta memverifikasi berkas pengajuan izin pembangunannya dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosialnya,” ungkap Fandi kepada media, Rabu (5/8/2020).
Selain itu, menurut Fandi juga berdampak pada hewan anoa yang merupakan andemik di Sulawesi Selatan. Habitatnya di pengunungan Lompobattang dan Bawakaraeng juga termasuk di Tahura Ma’ra Sinjai Borong.
“Perburuan hewan tersebut massif, jika habitatnya dipersempit oleh aktivitas manusia maka ancamannya semakin berat. Ditambah lagi pembukaan akses di sekitar habitatnya sebagai tempat wisata yg tidak memperhatikan aspek lingkunga,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Pemanfataan Taman Hutan Raya Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sinjai, Yusuf Palulla yang dilansir di media Dinas Infokom Sinjai menjelaskan awal pengembangan kawasan Tahura yang dijadikan sebagai lokasi bumi perkemahan.
Rencana pembuatan bumi perkemahan ini tertuang dalam dokumen rencana pengelolaan jangka panjang (RPJP) Tahura Abdul Latief 2016-2025 yang diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2012 tentang sarana dan prasarana dalam wisata alam Tahura.
“Jadi perlu saya luruskan bahwa pembangunan bumi perkemahan ini ada dalam dokumen RPJP Tahura yang disahkan oleh Dirjen KSDA dan Ekosistem serta Direktur Kawasan Konservasi pada tahun 2016. Rencana awal kita mulai bangun ini pada tahun 2017 namun masih terkendala dana, sehingga baru terlaksana pada tahun 2018 lalu yang dimulai dengan pembuatan tribun dan toilet,” ungkapnya.
Dalam pelaksanaan pengembangan pembangunan ini pihaknya diawasi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Provinsi Sulawesi Selatan melalui pendampingan secara langsung di lapangan.
“Tenaga dari Balai KSDA ini datang langsung ke Sinjai untuk melihat kondisi di lapangan sebelum dilakukan proses penataan, mereka memantau semua jalur yang akan dilalui alat berat dan lokasi yang akan ditata menjadi bumi perkemahan,” katanya.
Bahkan untuk mendatangkan alat berat di lokasi ini kata Yusuf, pihaknya terlebih dahulu mengajukan permohonan izin penggunaan alat berat ke Departemen Kehutanan dalam hal ini Dirjen KSDA dengan melampirkan data perubahan desain tapak, rencana pengembangan Tahura lengkap dengan dokumentasinya.
“Dengan data-data tersebut keluarlah izin penggunaan alat di kawasan tersebut. Dalam hal ini kementerian sudah mengkaji syarat-syarat yang kami ajukan dengan berbagai pertimbangan salah satunya meminimalisir kerusakan lingkungan dengan menghindari penebangan pohon, menjaga keamanan pengunjung saat pengerjaan dan meminta balai besar KSDA Sulsel melakukan pendampingan,” bebernya.
Yusuf menambahkan, dari hasil pengerjaan saat ini berdasarkan hasil laporan dari Balai Besar KSDA Provinsi Sulsel bahwa penataan kawasan Tahura Sinjai masih dalam batas toleransi.
“Kami menyadari hal itu dan dalam penataan kawasan Tahura ini seminimal mungkin menghindari kerusakan ligkungan,” pungkasnya. (fan/ril)
Tinggalkan Balasan