Usai sudah perhelatan panjang yang namanya pemilihan kepala daerah. Sudah ada hasil sementara yang keluar, 270 pasangan calon telah menang. Selebihnya lebih dari 122 pasangan calon lainnya gugur alias kalah. Jumlah pasangan calon yang bertarung 392 atau 784 orang.
Kegembiraan yang begitu besar pastilah dirasakan sang pemenang, sementara yang kalah sedang dirundung duka. Bukan hanya sekedar gagal meraih kursi kepala daerah, juga pasti, sedang mengkalkulasi berapa pengeluaran selama masa sosialisasi dan kampanye. Tapi kita berharap agar mudah mudahan jangan sampai ada diantara mereka yang terkena depresi atau berbagai dampak psikologis menyertai kekalahan itu. Yang jelas, bahwa pilkada bukanlah peristiwa yang hanya sekedar kalah dan menang, tetapi dibalik itu banyak pelajaran yang bisa kita petik, pertama, demokrasi sejatinya bukanlah sekedar teori tentang kedaulatan rakyat (selain tentu, ada faktor dominan lain yang mempengaruhi yakni fulus), tetapi juga kedewasaan bersikap dalam menerapkan demokrasi, kedua, jabatan politik membutuhkan perjuangan dan juga pengorbanan, materi dan immateril.
Oleh karenanya, keberanian terjun dalam politik seyogyanya disertai dengan memperhitungkan berbagai resiko yang mengikutinya, ketiga, bahwa politik yang muaranya kekuasaan yang diwakilkan oleh pemilik kedaulatan (rakyat) haruslah dipenuhi kebutuhan dan kepentingan, yang berangkat dari janji janji yang disampaikan di saat berusaha mendekati hati dan pilihan rakyat., keempat, bahwa kesediaan menerima kekalahan, juga kemenangan bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi terdapat berbagai ujian dan pertanggung jawaban yang harus ditunaikan. Yang menang, mau atau tidak, terpaksa ataupun sudah terencana, kewajiban baginya memenuhi semua apa yang telah disampaikan kepada rakyat, sementara yang kalah tentu juga berfikir dan berencana menyusun langkah politik berikutnya pada kesempatan yang lain untuk maju kembali, seraya menyelesaikan berbagai hal yang merupakan beban dari rangkaian kegiatan politik yang telah dilakukan.
Sebab itu, dari aspek sosio-kultural, pemilihan kepala daerah adalah eksaminiasi sikap kepemimpinan personal yang akan di bawa masuk ke dalam institusional yang lebih majemuk. Kearifan politiklah dari seorang politisi menentukan apakah seseorang setelah ia memang atau belum diberi kesempatan oleh rakyat menduduki kursi kepala daerah itu dapat bertanggung jawab kepada rakyat. Periode ujian itu berlangsung dan terus dipantau oleh rakyat selama lima tahu. Jikalau dia gagal sebagai pemimpin, maka pasti rakyat tidak akan pernah memilihnya kembali atau memberi kepercayaan, sementara yang kurang beruntung saat ini, belum tentu dia tidak akan mendapatkan mandat berikutnya, bilamana rakyat melihat bahwa sesungguh nya pemimpin yang didambakan.
Rona dan Warna
Pilkada terakhir ini, baru ada pilkada lagi pada 2024, sangatlah berbeda di banding pilkada sebelumnya. Pandemi covid19 merubah tatanan penyelenggaraan pemilihan. Tingkat partisipasi rakyat menggunakan hak pilihnya juga mengalami penurunan. Selain, masih adanya ketakutan tertular virus corona, juga hujan yang mengguyur di sebagian besar negeri ini, ikut mempengaruhi animo rakyat datang ke tempat pemungutan suara. Padahal, salah satu cerminan demokrasi tatkala rakyat merasa antusias memilih pemimpinnya. Ketika rakyat abai atau tidak peduli lagi proses mencari pemimpin, maka boleh jadi ada yang salah atau hal yang tidak berkenan di hati dan pikiran mereka. Warna lain dari pilkada kali ini, berita dan informasi hoax sangat banyak berseliweran di media sosial.
Perang fitnah dan upaya pembunuhan karakter hampir tiap hari tersaji. Upaya untuk mendiskreditkan calon lain yang menjadi lawan politiknya, seperti suatu keniscayaan dalam pesta yang diklaim demokratis ini. Belum lagi kejadian eksternal namun menjadi publikasi nasional juga turut membuat para calon dan tim mereka berusaha menarasikan dari perspektif kepentingan politik mereka dalam memperngaruhi konstituen atau publik secara luas. Maka, banyak peristiwa pidana pilkada tersaji dihadapan kita. Pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi lebih dari sebelas ribu kali dilakukan para relawan maupun pendukung masing masing calon. Selain itu, konflik internal di tengah relawan dan pendukung sendiri yang berseberangan dengan cara yang diambil oleh anggota tim lainnya, juga menghiasi berita mainstream dan media sosial.
Legowo
Yang paling penting disadari oleh para relawan, tim dan juga pendukung bahwa setiap kompetisi hanya menghasilkan satu pemenang. Pengajuan sengketa hasil bisa dilakukan sepanjang memenuhi syarat dan unsur yang secara kumulatif terjadi. Fakta dan data yang akurat. Bukan estimasi apatahlagi hanya klaim sepihak. Syarat untuk hasil yang dapat mengajukan gugatan tidak lebih dari selisih 0,5%. Sementara unsur pelanggaran yaitu terstruktur, sistematis dan massif. Sepanjang hal ini tidak terjadi , maka lebih baik urungkan niat untuk menggugat.
Selain menghabiskan energi, waktu dan uang, juga membuat kebingungan di tengah masyarakat. Pemimpin yang hebat adalah orang yang memiliki kekuatan bathin serta pikiran yang sehat menerima kenyataan bahwa mungkin ada yang kurang dari yang seharusnya kita lakukan, pada saat yang sama, memiliki kelemahan strategi dan substansi visi dan misi yang di sampaikan kepada rakyat. Sementara yang menang, janganlah berlebih menunjukkan kegembiraan dan kebahagiaan itu. Sebab dibalik itu, ada tanggung jawab berat yang akan dijalani untuk memenuhi seluruh narasi berupa janji serta komitmen yang sudah terlanjur disampaikan kepada rakyat. Janganlah pernah menghianati rakyat yang telah memilih anda. Terlalu berat resiko yang akan menjadi beban sepanjang kepemimpinannya. Rakyat akan selalu menuntut pembuktian atas apa yang telah dijanjikan. Ingkar janji bukanlah dari bagian politik kekuasaan, tetapi justru menjadi virus yang lebih berbahaya dari corona virus yang sedang mendera dunia sekarang ini.
Penulis:
M Ridha Rasyid
Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan
Tinggalkan Balasan