BONEPOS.COM, BONE – Seperti Ikrar Perang Petta PonggawaE atau disebut Osong Pakkanna.
“Itawa’ mai La Puang, Batara Tungke’na Bone,
Mupemmagga’ madecengngi sining Pattuppu BatuE.
Saile toa’ la bela sining tau maegaE,
Muarengkalinga maneng sining tau Tebbe’qede’.
Iya’ are’na la bela betta massolla-sollaE, Betta’ lele angkuru’E,
Temmennajai la bela sunge’ku lete ri maje’, Mallipu ri pammasareng.
Apa’ makkedai sia rilaleng nawa-nawakku’,
Inappa memengngi bela paranru’ rukka mawekke’ alingereng mangkau’ku’ Batara Tungke’na Bone.
Namasallena’ ri maje’ sumange’ banapatikku’.
Wajo-wajo mani bela lolang ri wanua lino.
Kuinreng tommi ro bela tonangeng passigera’ku’,Lolang ri wanua lino.
Kuana’ maccappu’ bello,
Ri wala-wala bessiE, Ri Appasareng KannaE,
Tellu taung ni la bela lao nrewe’ Kalamau’ makkekke la mala nyawa,
Naiya kubaliangngi Kalamau’ risuroE,
Kua lalopa’ muala ri wala-wala BessiE, Ri Appasareng KannaE,
Mupaddengngi wi sunge’ku’ mattekka ri Pammasareng.”
Demikian yang berarti, “Lihat wahai tuanku, Batara Tungke’na Bone,
Saksikan wahai sekalian aparat, perhatikan wahai orang banyak, dengarkanlah wahai seluruh masyarakat.
Akulah kesatria pantang mundur, kesatria yang dikenal seantero jagad,
Tak lagi ku hiraukan jiwaku jika harus menyeberang ke alam baka, mendiami alam akhirat. Karena dalam benakku, tibalah jua saatnya kita akan menghalau serangan besar di tanah pengabdian tuanku, Batara Tungke’na Bone.
Telah berada di alam baka jiwa sanubariku, Hanya tinggal bayang-bayang mengarungi hidup di dunia. Hanya kupinjam jua kepala tempat destarku/tahtaku mengarungi kehidupan.
Di sinilah ku habiskan segenap dayaku, dalam arena peperangan, Di medan pertempuran.
Telah 3 tahun berjalan malaikat maut datang ingin mencabut nyawaku,
Namun kusampaikan pada malaikat maut yang diutus itu. Nantilah dalam peperangan, di medan pertempuran, engkau renggut jiwaku menyeberang ke alam baka.
Ya, peristiwa terbakarnya Bola Soba menjadi peristiwa menyedihkan bagi masyarakat Bone maupun masyarakat luar, terlebih bagi mereka yang mencintai sejarah dan budaya.
Bangunan bersejarah peninggalan kerajaan Bone yang berdiri sekitar tahun 1890 tersebut, sebagaimana penamaan lainnya juga dikenal sebagai Saoraja Petta PonggawaE, merupakan istana milik Ponggawa Bone (Panglima Besar Kerajaan Bone) Abdul Hamid Baso Pagilingi yang adalah putra Arumpone (Raja Bone) ke-XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri.
Namun, kesedihan atas peristiwa kebakaran tersebut, dirasakan tak hanya tentang hilangnya salah satu ikon penting warisan budaya Bone, tetapi lebih mendalam turut pula mengobarkan api kepedihan atas peristiwa sejarah yang juga memilukan, tentang gugurnya Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE pada peristiwa yang dikenal sebagai Rumpa’na Bone (penaklukan/kehancuran Bone).
Rumpa’na Bone yang masa itu ditandai dengan gugurnya Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta PonggawaE pada pertempuran menghadapi agresi Belanda terhadap Kerajaan Bone, dalam upaya penaklukan hingga pengejaran terhadap Arumpone (Raja Bone) ke-XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri, berakhir kekalahan atas Bone oleh pihak Belanda dengan terdesaknya laskar Petta PonggawaE di Bulu Awo (Pegunungan Awo daerah Tana Toraja) pada 18 November 1905. Gugurnya beliau pada pertempuran tersebut, menyebabkan Arumpone (Raja Bone) ke-XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri kemudian diasingkan ke Bandung. Kepedihan inilah yang lebih mendalam turut dirasakan melalui peristiwa terbakarnya Bola Soba/Saoraja Petta PonggawaE pada 20 Maret 2021 pukul 03.15 Wita.
Peristiwa kebakaran Bola Soba yang terjadi kemudian menimbulkan fenomena dimana tidak sedikit masyarakat merasa terpukul, yang diekspresikan melalui kritik terhadap kemungkinan adanya kelalaian aparat berwenang, bahkan ada pula yang kesedihannya dituangkan melalui sajak puisi, meskipun pada umumnya hanya mampu mengelus dada dan meneteskan air mata.
Namun diantaranya, ada pula yang menanggapi peristiwa tersebut sebagai hal biasa, dengan seketika mengesankan kerelaan atas yang terjadi melalui asumsi telah menjadi ketetapan dan takdir dari Tuhan.
Tapi sesungguhnya hal inilah yang secara mendasar perlu dikoreksi untuk disadari, bahwa sejatinya mereka yang perih atas peristiwa terbakarnya bangunan cagar budaya tersebut dapat dikatakan, jika di dalam dirinya masihlah terawat akar kebudayaan paling fundamental selaku masyarakat Bugis, yang dikenal istilah sebagai wujud pesse.
Dan mungkin jadi sebaliknya, oleh yang menyikapinya sebagai peristiwa biasa kemungkinan eksistensi pesse telah mengalami reduksi terhadap dirinya. Hal yang niscaya memang dapat terjadi sebagai dampak globalisasi, dimana proses integrasi internasional mewujudkan percepatan pertukaran segala informasi, membentuk akses luas terhadap pemikiran dan pandangan global, yang bahkan memungkinan terjadinya adopsi kebudayaan dengan justru mengancam hilangnya identitas asli kebudayaan lokal, termasuk dalam hal ini adalah pesse.
Pesse dapat diartikan sebagai rasa perih, kepedulian (respect), ataupun kesadaran berempati, hingga lebih luas dapat dimaknai sebagai keselarasan rasa cinta oleh rakyat terhadap tanah air. Peran adanya pesse menuntut setiap individu agar dapat saling menopang, saling mengasihi dan saling memanusiakan, demi terwujudnya kualitas tatanan bermutu dan terbentuknya peradaban yang paripurna. Dan sebagai warisan identitas kebudayaan Bugis, pesse senantiasa beriringan dengan siri’ dan menjadi dua hal yang tidak terpisahkan.
Jika siri’ berorientasi pada tegak dan terjaganya muruah/harga diri secara individu maupun pada konteks tatanan masyarakat dan berbangsa, maka pesse menuntut rasa tahu diri terhadap setiap individu untuk saling mengasihi.
Melalui pendekatan arkeologi, siri’ na pesse dapat digolongkan sebagai artefak (peninggalan bersejarah) yang dikategorikan sebagai ideofak, yaitu artefak non materi yang sehubungan dengan pemikiran terhadap hal-hal religius/super natural/idea/abstrak. Diantara tatanan masyarakat berbudaya, tidak banyak suku maupun bangsa di dunia yang memiliki warisan demikian dalam bentuk Ideofak.
Salah satu yang serupa dengan ideofak siri’ na pesse yang dimiliki masyarakat Bugis adalah ideofak pada kebudayaan Jepang dengan teologi malu-nya, yang disandarkan pada konsep Rinri (bertata krama) bahkan pada implementasinya di zaman dahulu lebih ekstrem sampai berujung Harakiri (bunuh diri).
Namun budaya malu Jepang yang terpelihara sampai saat ini, penerapannya telah tiba ke segala aspek ruang kehidupan masyarakatnya, dengan tak hanya diwujudkan dalam dinamika interaksi antar individu, melainkan ditarik hingga pada ranah sosial, politik, dan pemerintahan. Transformasi budaya malu yang lebih meluas demikian, sangat mempengaruhi produktifitas individu, etos kerja, dan kepedulian tinggi sebagai output kesadaran entitas budaya yang menjadi kekuatan mendasar masyarakat Jepang, hingga mampu membawa bangsanya meraih banyak terobosan dan kemajuan di berbagai bidang di kancah global.
Bahkan hingga kini, tak jarang adanya pejabat tinggi Jepang yang hanya jika diterpa isu miring seketika mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perwujudan budaya malu yang terus hidup ditengah mereka. Sejatinya Bone dengan budaya siri’ na pesse-nya sebagai instrument yang serupa dan lebih kompleks, memungkinkan masyarakatnya untuk dapat pula tiba pada kualitas hidup dan mutu tatanan maju sebagaimana dilakukan masyarakat Jepang.
Bola Soba yang musnah terbakar akan mudah saja direkonstruksi ulang untuk dapat terbangun kembali, namun jika siri’ dan pesse yang hilang maka akan menjauhkan harapan setiap individu dan masyarakat dalam meraih kualitas hidup dan tatanan peradaban yang bermutu. Maka patutnya melalui momentum peristiwa terbakarnya Bola Soba sebagai ikon monomental serta warisan cagar budaya tersebut, penting pula bagi masyarakat merefleksi nilai warisan budaya yang terpaut, dengan tak luput memahami bahwa terdapat warisan tak kalah lebih pentingnya selain demikian yang tampak, untuk seharusnya dapat terjaga dan terus dilestarikan sebagai identitas serta faktor pendorong utama menuju keserasian dan keselarasan berkehidupan, ialah warisan sebuah artefak ide kebudayaan Bugis, yakni siri’ na pesse.
•••
“Sadda Mappabbati Ada, Ada Mappabbati Gau’, Gau’ Mappabbati Tau.
Maega rupanna Tau, naekiya seddimi Tau.
Naiyyapa riaseng Tau rekkua naonroi siri’. Naiyyapa na sukku jokkana siri’e narekko sitonrai pesse.
Nasaba iyyaro siri’e, Sunge’ naranreng, nyawa nakira-kira.
Naiyya pessewe tuo makkure’ ri ati macarinna lao ri padanna rupa Tau.
Siri’ na Pesse tettong rilaleng Sulapa’ Eppa,
Macca, Warani, Malempu’, na Macarinna rilalengna Getteng’E.”
Demikian ungkapan tersebut memiliki arti, “suara menjelaskan kata, kata menjelaskan perbuatan, perbuatan menjelaskan akan seorang manusia.
Ada banyak yang berwajah manusia, namun sejatinya manusia adalah satu. Disebutlah manusia jika telah memiliki siri’, dan barulah sempurna siri’ jika beriringan dengan pesse.
Sebab sejatinya siri’, merangkul jiwa, memperhitungkan nyawa. Dan ialah pesse, saat mengakar di hati untuk saling mengasihi sesama manusia.
siri’ dan pesse berdiri di dalam falsafah Sulapa’ Eppa’ adalah kecerdasan, keberanian, kejujuran, dan kasih sayang, di dalam ketegasan.
Mari kita sama-sama merenungi peristiwa di balik terbakarnya Bola Soba. Semoga melalui tulisan ini dapat bermanfaat, tidak hanya bagi penulis, melainkan juga kepada pembaca. (*)
Tinggalkan Balasan