Tiba tiba saja Minggu pagi 28/3/21 pukul 10. 24 Wita Makassar dikejutkan dengan bom bunuh diri yang terjadi di halaman parkir Gereja Katedral. Saat mana sedang dilangsungkan ibadah Palma. Ini merupakan peristiwa yang tak pernah di duga akan terjadi. Tetapi paling tidak serentetan aksi teror sebelumnya dapat ditelusuri.
Pertama, kala terjadi penangkapan terduga teroris beberapa waktu lalu di Tamalanrea dan sejumlah tempat lainnya di Makassar dan kemudian di bawa ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan secara intensif, kedua, pengaruh teror Poso, Sulawesi Tengah merupakan rangkaian membangun jaringan di Sulawesi , termasuk di Makassar.
Ketiga, bahwa ini bukan persoalan agama, tetapi merupakan ambivalensi antara apa yang mereka harapkan dengan kenyataan yang terjadi dari persepsi mereka membangun kekuatan, sehingga mereka merasa perlu memberi “kejutan”, keempat, Sulawesi Selatan dan Kota Makassar khususnya, merupakan daerah yang tidak mudah diterobos oleh paham radikal, sehingga dengan peristiwa ini, akan membuat mereka merasa “berhasil” memperingatkan aparat, bahwa tidak ada wilayah yang bisa dijamin keamanannya dari ancaman terorisme.
Dari deskripsi yang mengemuka ini, dalam pandangan mereka — siapapun dibalik aksi ini — akan berusaha membuat suatu keadaan yang tidak aman, pada wilayah wilayah yang tidak tersentuh selama ini. Kita sangat tahu, bahwa Makassar merupakan kota yang sangat menjunjung tinggi toleransi agama dan sosial. Tidak pernah terjadi suatu peristiwa yang melahirkan adanya ideologi ekstrim. Beberapa dekade lampau pernah ada bentrok antar etnis tapi itu diiringi oleh peristiwa kriminal.
Bukan teror yang berdasarkan ideologi yang tumbuh dari fanatisme pengikutnya. Makassar yang dikenal sebagai daerah “keras” dalam perspektif budaya, itu adalah kesan dari gaya bicara ataupun yang hanya mereka dapatkan gambaran dari media yang mengabarkan aksi demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkhisme.
Makassar dan semua warganya tidak pernah menunjukkan adanya perbedaan mendalam terkait persoalan keyakinan. Berbagai peristiwa politik pada masa kemerdekaan hingga beberapa pergantian sistem pemerintahan, kota Makassar selalu memberi peran positif dalam ikut mewarnai perjuangan kemerdekaan dan dari segala bentuk gerombolan yang memberi tekanan kepada pemerintahan, namun itu adalah deskripsi dari konsistensi perjuangan politik masyarakat.
Maka, apa yang kita lihat dari peristiwa ini dapat diuraikan sebagai berikut; pertama, kita punya keyakinan dan bersikap tegas bahwa kejadian ini tidak ada kaitan dengan hubungan antar agama pada warga Makassar. Atau dengan kata lain setiap peristiwa tidak dapat serta merta pada satu kesimpulan yang benang merahnya antipati antar umat beragama. Bukan.
Tidak ada karakter warga Makassar saling bermusuhan betapapun perbedaan itu ada, namun justru perbedaan itulah yang mengikat mereka untuk saling bekerjasama, kedua, bahwa perlu sama kita kenali, bahwa dari jejak jejak peristiwa yang pernah ada, tidak ada satupun yang berhubungan langsung dengan perbedaan keyakinan, ketiga, ketegasan dan kebersamaan warga Makassar tidak akan “terbeli” oleh bentuk apapun termasuk dalih ideologi untuk merusak suatu hubungan antar warga.
Prihatin
Tidak ada kata lain yang patut kita kumandangkan sebagai warga Makassar yakni “mengecam” keras kepada mereka yang menyuruh pelaku melakukan bunuh diri, dengan cara tersebut serta perlunya adanya penyelidikan mendalam kemungkinan adanya “penggagas” dibalik peristiwa ini dan juga mewaspadai kemungkinan yang akan terjadi.
Bahwa suatu teror ataupun bentuk tindakan lainnya yang membuat masyarakat merasa ketakutan dan risau adalah salah satu tujuan dan menjadi hal yang pertama “mereka” bangun. Setelah ketakutan itu terus bersemayam dalam pikiran rakyat, tindakan berikutnya mereka sudah persiapkan, yaitu dengan melakukan infiltrasi ajaran atau paham. Ini adalah tahapan yang sangat penting bagi mereka untuk membangun jaringan dan kaderisasi.
Oleh karena rasa “takut” itu bisa saja ada yang kemudian ingin mencari “ketenangan” dengan mengikuti pola kaderisasi yang secara terselubung bukan mewakili suatu organisasi atau lembaga tetapi secara informal mereka memperkuat dan menambah anggotanya. Cara grylia seperti ini terkadang jauh lebih efektif dibanding cara formal. Olehnya itu, segala intrik dan model kaderisasi akan mereka lakukan untuk sebuah “perjuangan” versi mereka.
Mengenali cara penyebaran ideologi untuk sebuah keyakinan yang ‘dipaksakan’ dan menumbuhkan fanatisme itulah inti dari ajaran mereka. Pembenaran versi dari garis perjuangan yang membolehkan cara cara kekerasan untuk mencapai target tujuan.
Apa yang terjadi saat ini, membuat kita prihatin dan kita lebih waspada dalam menyikapi setiap hal. Jangan mudah terpengaruh dengan segala macam cara untuk meyakinkan kita. Tapi berusahalah untuk memahami maksud di balik itu.
Hakekat Perjuangan Mereka
Saya sangat yakin bahwa pelaku bom bunuh diri adalah orang yang dengan sengaja dengan rasa kesadarannya, namun ketidak-tahuan secara mendalam akan hakekat suatu ajaran yang diikutinya, kemudian dia mau menjadi ‘relawan’ mengorbankan nyawanya. Oleh karena tidak ada satupun ajaran agama ang membolehkan bunuh diri atas alasan apapun.
Bunuh diri adalah tindakan bodoh dari sebuah keyakinan yang nisbi dan mereka yakini untuk sebuah pembenaran tindakan. Kekonyolan dari sebuah tindakan bunuh diri dapat di maknakan sebagai berikut; pertama, sesorang tidak memahami akan makna dan inti sebuah ajaran dibalik seruan oleh ‘sang guru’. Di dalam jaringan kelompok seperti itu tidak ada dialog, tidak ada diskusi tidak ada tukar pikiran. Yang ada fanatisme. Harus dan tunduk, kedua, harus mematuhi dan mengikuti setiap perintah sang guru.
Bilamana membangkan akan dijatuhi hukuman sesuai “fatwa” sang guru. Betapa tidak, dalam ajaran agama apapun, mengikuti dan menaati perintah suatu kemutlakan karena sumber dan perintah ajaran itu dari Maha Pencipta. Bukan dari sang guru perintah absolut itu, ketiga, murid tidak memiliki ruang bertanya atas perintah itu. Pokoknya lakukan. Inilah yang membuat “pengorbanan” diri yang disertai dengan bahan peledak marak terjadi dan dilakukan oleh kelompok ekstrimis yang mengajarkan aksi teror.
Kesimpulan
Aksi bom bunuh diri adalah tindakan ‘idiot’ atas pelakunya. Sang penggerak dan pencetus suatu paham hanya untuk memenuhi nafsu angkara-murka atas pemahaman paham yang diterimanya. Otak dibalik peristiwa bom bunuh diri punya ambisi kekuasaan atas sesuatu. Yang jikalau saja dia mendapatkan kesempatan untuk itu, maka cara cara tak masuk akal dan cenderung mengedepankan kekerasan akan menghasilkan kepemimpinannya. Sehingga tidak ada kepatuhan untuk mengikuti orang maupun ajarannya.
Tinggalkan Balasan