BONEPOS.COM, BULUKUMBA – Wajahnya tersenyum berseri tatkala menerima kantong plastik hitam saat saya nmengunjungi tempat tinggalnya.

Kakek Baba, begitu orang-orang menyapanya. Meski usianya tidak muda lagi, namun ia dengan tubuh rentanya yang berbalut kulit keriput masih saja bertenaga merawat lahan milik orang.

Di tanah itu juga kakek Baba membangun rumah tempatnya berteduh, sejak tahun 1990-an silam. Rumah mungil itu berukuran 2×5 meter.

Saat itu kakek Baba baru selesai menunaikan salat Asar. Dia keluar dari rumahnya ketika saya bersama rombongan komunitas pemuda Bulukumba mengunjunginya. Terlihat dari kejauhan rumah itu lebih layak disebut gubuk reyot.

Keseluruhan bangunan tua itu terbuat dari bambu. Pada semua sisi dinding, sudah penuh dengan tambalan dari karung putih dan tenda biru bekas pakai. Bentuknya nampak seperti rumah panggung. Lantainya rapuh. Nyaris ambruk.

Saat mengamati lebih dekat, atapnya terbuat dari pelepah daun kelapa yang sudah bocor-bocor. Terbayang bukan, ketika hujan, kakek Baba akan berjibaku dengan basahnya air yang masuk ke dalam rumahya.

Tak ada fasilitas apapun di dalam gubuk itu. Tak ada kompor gas, tak ada lemari, juga tak ada kasur. Di dalam rumah hanya ada sajadah yang tergelar rapi diatas tempat tidur berukuran 1×2 meter itu. Alas tidurnya hanya kain tipis dengan satu buah bantal kepala yang kakek Baba gunakan setiap tidur di malam hari.