Agak lucu menyebutnya. Apalagi soal jurnalisme. Tapi setidaknya ini hanyalah ungkapan di warung bakso. Kalau toh dapat diterima dengan senang hati, ya syukurlah. Kalau tidak, maafkan.

Karena kita selalu disibukan dengan tugas (jurnalis), maka kita pun selalu bertemu dimana saja. Entah di warung kopi, hotel, kantoran, warung bakso dan tempat lainnya.

Kali ini, sehabis jumatan bisa ngumpul lagi. Makan bakso menjadi pilihan, sambil ketawa-ketiwi. Walau awalnya saya pesan pangsit, namun pelayannya membawakan menu lain, bakso. Bakso pun akhirnya menjadi makanan kami bersama. Itu bukan masalah, apalagi kalau mengingat bakso diartikan sebagai makanan kasih sayang.

Karena bakso sebagai wujud kasih sayang dan bakti seorang anak kepada sang ibu pada masa Dinasti Ming (1368 – 1644). Pada masa itu hiduplah seorang anak bernama Meng Bo yang tinggal bersama ibunya di Fuzhou, Cina.

Alkisah, diceritakan Theepochtimes bahwa di masa akhir Dinasti Ming pada abad ke-17 Masehi, hiduplah seorang anak bernama Meng Bo yang tinggal bersama ibunya di Fuzho, Cina. Meng Bo sangat ingin memasak daging yang disukai ibu tercinta. Namun, usia yang renta, gigi ibunya sudah tidak mampu lagi mengunyah daging.

Meng Bo berpikir, bagaimana caranya memasak daging yang lembut yang bisa dimakan oleh ibunya. Ia tiba-tiba teringat dengan penganan lunak sejenis mochi yang dibuat dari ketan dan ditumbuk sampai halus.

Dari situlah Meng Bo kemudian beraksi. Daging yang alot ditumbuknya, kemudian dibentuk bulat-bulat kecil agar lebih mudah dinikmati dan disantap bersama kuah kaldu hangat. Ternyata, masakan buatan Meng Bo ini sangat lezat. Dan inilah tersebar ke seluruh penjuru kota, termasuk yang kita nikmati di Bone (tentu sudah ada perubahan racikan).

Memetik filosofinya dalam dunia jurnalistik, maka tak ada salahnya menjadi sebuah “aliran baru”, Jurnalisme Bakso. Jurnalisme yang tetap memperhitungkan kasih-sayang.

Untuk itulah, di era yang semakin ribet ini, pembaca mencari bahan bacaan yang kian praktis. Bacaan lembut yang bisa menjadi daya tarik. Bacaan yang menyejukkan sebagai wujud kasih sayang.
Tidak heran, diera ini banyak pembaca selalu menanti berita dengan gaya sastra. Tak heran, Jurnalisme Sastra (JS) semakin berkembang.

Jurnalisme Sastra melahirkan bacaan yang menarik. Menjadi bacaan yang disukai banyak orang, seperti semangkuk bakso. Karena bakso terlihat sebagai makanan yang membuat kita kepedisan. Namun ramuannya sangat apik hingga kita menikmatinya menjadi sesuatu yang enak dan bikin kenyang.

Jurnalis dengan beragam karakternya tentu memilih jalan sendiri-sendiri. Karena Pers memiliki fungsi sebagai Media Informasi, Pendidikan, Hiburan, Kontrol Sosial dan fungsi Ekonomi maka seorang jurnalis harus memiliki ilmu yang memadai. Berpendidikan dan bermental yang baik. Itulah pentingnya jurnalis memahami dasar jurnalistik. Sejak dini harus tau dan paham tentang jurnalistik. Tidak lahir begitu saja.

Seperti kata Budayawan Emha Ainun Najib, jurnalis ibarat sebagai tangan Tuhan di dunia. Itu karena besarnya pengaruh media. Dan untuk itulah, jurnalis tentu harus berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya. Harus menghadirkan bacaan yang akurat, bukan hoax. Mampukah? Wallahualam bish-shawab

Penulis : Drs. Bahtiar Parenrengi (Jurnalis)