KETIDAKPASTIAN ekonomi global membuat “depresi’ banyak negara di dunia. Baik negara berkembang maupun maju. Perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai; ketegangan Cina-Amerika yang makin tajam; dan krisis puluhan negara berkembang yang makin dalam membuat ekonomi dunia makin tertekan.

Kondisi itu diperparah oleh anjloknya hasil pertanian dan banyaknya bencana alam akibat global warming yang makin dahsyat. Kondisinya makin tegang. Dalam “psikologi ekonomi” tingkatan ketegangan itu sudah mendekati depresi, melampaui stress.

Saat ini saja, kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, sudah 16 negara menjadi pasien IMF; 36 lainnya sedang antri di depan pintu.

Kini sepertiga negara di dunia tengah menghadapi krisis ekonomi parah. Tak hanya di negara berkembang. Tapi juga di negara maju. Ratusan juta, bahkan milyaran orang kelaparan di mana-mana. Tak hanya di Afrika dan Asia. Tapi juga di Eropa dan Amerika

Itulah kondisi umum ekonomi dunia yang tengah menunggu resesi tahun 2023 pasca pandemi. Tapi kondisi tersebut, untungnya, tak terjadi di Indonesia.

Indonesia punya daya tahan (resiliensi) menghadapi Resesi global. Hal ini terlihat — kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu — dari kinerja tahun 2022 hingga awal 2023 baru lalu.

“Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia salah satu yang terbaik. Saat perang Rusia-Ukraina berlangsung sengit dan harga pangan meroket, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,3 persen. Kita berharap di tahun 2023 tetap tumbuh di atas 5 persen,” ujar Febrio saat diskusi di Kompas.id Senin (6/3/023) di Tangerang, Banten.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 terbentuk karena konsumsi yang membaik dan kinerja ekspor yang positif. Tahun 2022, ujar Febrio, neraca perdagangan RI surplus 54,4 miliar USD.

Ini surplus tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Saat itu, harga migas, batubara, dan sawit naik. Hilirisasi biji nikel ikut menambah surplus tersebut