Tak terhitung kerugian warga akibat bencana ekologis yang kerap terjadi dan berlangsung dalam waktu lama.
“Kalau kami di Desa Lawewe tidak tahu harus bilang apa lagi karena selama kurang lebih 3 bulan air tidak lagi meninggalkan pemukiman warga,” ungkap Haddas Kudese, tokoh pemuda Desa Lawewe Kecamatan Baebunta Selatan, Selasa, 14 Mei 2024.
Hal tak jauh berbeda dijelaskan oleh Sekretaris Desa Lembang-Lembang, Kecamatan Baebunta Selatan, Kabupaten Luwu Utara.
Dikatakan Masriadi, banjir yang terjadi disebabkan oleh jebolnya tanggul Sungai Rongkong sejak 26 Maret 2024 lalu.
“Banjirnya sudah lama, sejak 26 Maret. Sebagian besar masyarakat kami mengungsi ke luar desa, namun masih ada juga yang harus tinggal menunggui rumah meski tergenang air,” jelasnya.
Serupa yang terjadi di Desa Tolada Kecamatan Malangke dimana banjir juga merendam rumah warga, sekolah dan masjid serta lahan pertanian dengan ketinggian antara 50 hingga 70 sentimeter.
“Sekitar 2.000 hektar lahan milik warga tidak dapat digarap selama kurun 4 tahun terakhir, termasuk sawah, kebun sawit, jeruk nipis, jagung dan empang air tawar,” ungkap Herwin, tokoh pemuda setempat.
Banjir kronis di Luwu Utara disebabkan oleh luapan sungai-sungai besar di daerah itu.
Pada sejumlah titik, tanggul pengaman di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) akhirnya jebol akibat debit air yang sangat tinggi.
“Jika hujan deras di bagian hulu, bisa dipastikan air sungai malah sudah melewati ketinggian tanggul lalu merendam seluruh desa di sekitarnya,” tambah Herwin.
Tidak Sederhana
Musibah banjir yang kerap melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan ini mendapat perhatian dari banyak pihak.
Tak terkecuali dari Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Dr Abdul Talib Mustafa.
Menurut Talib, banjir di Luwu Utara bukan masalah yang sederhana dan perlu penanganan yang sifatnya menyeluruh dan jangka panjang.
“Ini masalahnya tidak sederhana. Fakta seperti ini menjadi masalah yang kompleks bagi semua penduduk yang bermukim di semua daerah aliran sungai (DAS) Lutra, plus sarana produksi mereka seperti sawah, kebun, peternakan, dan sebagainya,” kata Talib, Senin, 13 Mei 2024 lalu.
Karena itu maka diperlukan penanganan yang menyeluruh dan jangka panjang untuk masalah ini.
“Paling tidak kepada mereka yang bakal jadi Bupati dan Wakil Bupati di Lutra ke depan harus sabar, konsern dan berjejaring penyelesaian masalah ini,” jelas dia.
Talib menambahkan, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani bencana banjir di Luwu Utara antara lain dengan melakukan studi dan pemetaan wilayah-wilayah yang rentan mengalami banjir.
“Yang kedua adalah pembuatan desain penanganan DAS yang terintegrasi dengan wilayah pengembangan pemukiman dan ekonomi baru di Luwu Utara,” tegasnya.
Talib menganjurkan agar jika sudah jadi, maka desain penanganan DAS Lutra harus sering diajukan ke jajaran Kementerian terkait.
“Lobby ke DPR RI khususnya kepada komisi terkait juga penting dilakukan untuk menjual gagasan ini,” tambahnya.
Selain itu, akademisi Universitas Indonesia Timur itu juga menganjurkan agar pemerintah setempat sudah harus mempersiapkan pemukiman sementara bagi penduduk terdampak.
“Persiapkan (juga) pemukiman sementara di wilayah-wilayah yang akan dikembangkan bagi penduduk terdampak,” tutupnya. [*]

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.